Candi
Cangkuang terletak di Kampung Pulo, Desa Cangkuang , Kecamatan Leles,
Kabupaten Garut. Desa Cangkuang dikelilingi oleh empat gunung besar di
Jawa Barat, yang antara lain Gunung Haruman, Gunung Kaledong, Gunung
Mandalawangi dan Gunung Guntur. Nama Candi Cangkuang diambil dari nama
desa tempat candi ini berada. Kata 'Cangkuang' sendiri adalah nama
tanaman sejenis pandan (pandanus furcatus), yang banyak terdapat di
sekitar makam, Embah Dalem Arief Muhammad, leluhur Kampung Pulo. Daun
cangkuang dapat dimanfaatkan untuk membuat tudung, tikar atau pembungkus
gula aren.
Cagar budaya Cangkuang terletak di sebuah daratan
di tengah danau kecil (dalam bahasa Sunda disebut situ), sehingga untuk
mencapai tempat tersebut orang harus menggunakan rakit. Selain candi,
di pulau itu juga terdapat pemukiman adat Kampung Pulo, yang juga
menjadi bagian dari kawasan cagar budaya.
Candi
Cangkuang ditemukan kembali oleh Tim Sejarah Leles pada tanggal 9
Desember 1966. Tim penelitian yang disponsori oleh Bapak Idji Hatadji
(CV. Haruman) ini diketuai oleh Prof. Harsoyo, Uka Tjandrasasmita
(ketua penelitian sejarah Islam dan lembaga kepurbakalaan), dan
mahasiswa dari IKIP Bandung. Penelitian dilaksanakan berdasarkan tulisan
Vorderman dalam buku Notulen Bataviaasch Genotschap terbitan tahun 1893
yang menyatakan bahwa di Desa Cangkuang terdapat makam kuno dan sebuah
arca yang sudah rusak. Disebutkan bahwa temuan itu berlokasi di bukit
Kampung Pulo.
Makam dan arca Syiwa yang dimaksud memang
diketemukan. Pada awal penelitian terlihat adanya batu yang merupakan
reruntuhan sebuah bangunan candi. Makam kuno yang dimaksud adalah makam
Arief Muhammad yang dianggap penduduk setempat sebagai leluhur mereka.
Pada
awal penelitian terlihat adanya batu yang merupakan reruntuhan
bangunan candi dan di sampingnya terdapat sebuah makam kuno berikut
sebuah arca Syiwa yang terletak di tengah reruntuhan bangunan. Dengan
ditemukannya batu-batu andesit berbentuk balok, tim peneliti yang
dipimpin Tjandrasamita merasa yakin bahwa di sekitar tempat tersebut
semula terdapat sebuah candi. Penduduk setempat seringkali menggunakan
balok-balok tersebut untuk batu nisan.
Berdasarkan keyakinan
tersebut, peneliti melakukan penggalian di lokasi tersebut. Di dekat
kuburan Arief Muhammad peneliti menemukan fondasi candi berkuran 4,5 x
4,5 meter dan batu-batu candi lainnya yang berserakan.
Dengan
penemuan tersebut Tim Sejarah dan Lembaga Kepurbakalaan segera
melaksanakan penelitian didaerah tersebut. Hingga tahun 1968 penelitian
masih terus berlangsung. Proses pemugaran Candi dimulai pada tahun
1974-1975 dan pelaksanaan rekonstruksi dilaksanakan pada tahun 1976 yang
meliputi kerangka badan, atap dan patung Syiwa serta dilengkapi dengan
sebuah joglo museum dengan maksud untuk dipergunakan menyimpan dan
menginventarisir benda-benda bersejarah bekas peninggalan kebudayaan
dari seluruh Kabupaten Garut. Dalam pelaksanaan pemugaran pada tahun
1974 telah ditemukan kembali batu candi yang merupakan bagian-bagian
dari kaki candi. Kendala utama rekonstruksi candi adalah batuan candi
yang ditemukan hanya sekitar 40% dari aslinya, sehingga batu asli yang
digunakan merekonstruksi bangunan candi tersebut hanya sekitar 40%.
Selebihnya dibuat dari adukan semen, batu koral, pasir dan besi.
Candi
Cangkuang merupakan candi pertama dipugar, dan juga untuk mengisi
kekosongan sejarah antara Purnawarman dan Pajajaran. Para ahli menduga
bahwa Candi Cangkuang didirikan pada abad ke-8, didasarkan pada:
1. tingkat kelapukan batuannya;
2. kesederhanaan bentuk (tidak adanya relief).
Setelah dipugar,
Candi Cangkuang mempunyai ukuran yang sesuai dengan keadaan alamnya.
Tinggi bangunan sampai ke puncak atap adalah 8,5 m. Tubuh candi berdiri
di atas kaki berdenah bujur sangkar berukuran 4,5 X 4,5 m. Atap candi
bersusun-susun membentuk piramid. Sepanjang tepian setiap susunan
dihiasi semacam mahkota-mahkota kecil, mirip yang terdapat di
candi-candi Gedongsanga.
Pintu masuk ke ruangan dalam tubuh candi
terletak di sisi timur. Untuk mencapai pintu terdapat tangga selebar
sekitar 75 cm setinggi sekitar 1 m. Pintu masuk tersebut diapit dinding
yang membentuk bingkai pintu. Tidak terdapat hiasan pahatan pada bingkai
pintu.
Saat
ini di ambang pintu masuk ke ruangan tersebut telah dipasang pintu
berterali besi yang terkunci.Dalam candi terdapat ruangan seluas 2,2
m2 dengan tinggi 3,38 m. Di tengah ruangan terdapat arca Syiwa
setinggi 62 cm. Konon tepat di bawah patung terdapat lubang sedalam 7 m,
namun hal itu tidak dapat dibuktikan karena pengunjung tidak
diperkenankan masuk ke ruangan.
Pemukiman adat Kampung Pulo
Kampung
Pulo merupakan sebuah kampung kecil, terdiri dari enam buah rumah dan
enam kepala keluarga. Sudah menjadi ketentuan adat bahwa jumlah rumah
dan kepala keluarga itu harus enam orang dengan susunan tiga rumah
disebelah kiri dan tiga rumah disebelah kanan yang saling berhadapan
ditambah satu masjid sebagai tempat ibadah.
Oleh sebab itu kedua deretan rumah tersebut tidak boleh ditambah ataupun dikurangi.Jika
seorang anak sudah dewasa kemudian nikah maka paling lambat dua minggu
setelah pernikahan harus meninggalkan rumah tempat asalnya, keluar dari
lingkungan keenam rumah adat tersebut. Dia bisa kembali keasalnya bila
salah satu keluarga meninggal dunia dengan syarat harus anak wanita dan
ditentukan atas pemilihan keluarga setempat.
Embah Dalem Arief Muhammad
Embah Dalem Arief Muhammad serta masyarakat setempat yang telah
membendung daerah ini, sehingga terbentuk sebuah danau dengan nama Situ
Cangkuang. Setelah daerah ini selesai dibendung, maka dataran yang
rendah menjadi danau, dan bukit-bukit menjadi pulau-pulau. Pulau
tersebut antara lain Pulau Panjang (dimana kampung pulo ada), Pulau
Gede, Pulau Leutik (kecil), Pulau Wedus, Pulau Katanda, dan Pulau
Masigit. Embah Dalem Arief Muhammad berasal dari Kerajaan Mataram, Jawa
Timur. Ia dan pasukannya datang dengan tujuan untuk menyerang tentara
VOC di Batavia dan menyebarkan agama Islam di Desa Cangkuang.
Desa
Cangkuang, khususnya Kampung Pulo, waktu itu sudah dihuni oleh
penduduk yang menganut agama Hindu. Hal itu terbukti dari adanya candi
Hindu yang sekarang telah dipugar. Metode dakwah yang dilakukan Arief
Muhammad tidak jauh dari pola dakwah Wali Songo. Secara bijaksana Embah
Dalem Arief Muhammad mengajak masyarakat setempat untuk menganut Islam.
Pedoman
dakwah yang diajarkan oleh Arief Muhammad berprinsip pada ajaran Islam
yang tidak mengenal kekerasan dan paksaan, melainkan dengan perdamaian
dan keikhlasan hati. Ajaran-ajaran yang disampaikan dan ditulis Arief
Muhammad dalam naskah-naskah tidak berbeda dengan apa yang kita dapatkan
dari para ulama sekarang ini. Dengan mengacu pada Al-Qur’an dan Hadits,
beliau mengajarkan berbagai hal untuk menghadapi segala kehidupan
membentuk pribadi umat menjadi muslim yang sejati dengan mentauhidkan
Allah SWT, berakhlak baik, dan meninggalkan apa yang dilarang oleh Allah
SWT. Adapun hal-hal yang membuktikan adanya penyebaran Islam yang dilakukan pada permulaan abad XVII, antara lain :
1.
Naskah Khotbah Jum’at yang terbuat dari kulit kambing dengan memiliki
ukuran 176 X 23 cm. Walaupun terlihat agak sedikit rusak, namun
tulisan dalam naskah tersebut masih terbaca jelas.
2. Kitab Suci Al Qur’an yang terbuat dari kulit kayu (saih) dengan
memiliki ukuran 33 X 24 cm. Karena sudah dimakan usia, kondisi kitab ini
terlihat sobek. Walau demikian kitab Al Qur’an ini masih bisa dibaca
dengan jelas.
3. Kitab Ilmu Fikih yang terbuat dari bahan kulit kayu (saih) dengan memiliki ukuran 26 X 18,5 cm.
4. Makam Embah Dalem Arief Muhammad yang berada disebelah selatan Candi
Cangkuang. Hal ini menunjukkan bahwa adanya kerukunan hidup beragama di
Nusantara sudah terbina sejak ratusan tahun yang lalu
Para
penduduk Kampung Pulo berangsur-angsur menganut agama Islam, tapi
sebagian kepercayaan lamanya masih mereka laksanakan. Sebagai contoh,
hari Rabu menjadi hari besar bagi mereka, dan bukan hari Jum’at.
http://candi.perpusnas.go.id/temples/deskripsi-jawa_barat-candi_cangkuang