Borobudur
Borobudur adalah sebuah 
candi Buddha yang terletak di 
Borobudur, 
Magelang, 
Jawa Tengah, 
Indonesia. Lokasi candi adalah kurang lebih 100 
km di sebelah barat daya 
Semarang, 86 km di sebelah barat 
Surakarta, dan 40 km di sebelah barat laut 
Yogyakarta. Candi berbentuk 
stupa ini didirikan oleh para penganut 
agama Buddha Mahayana sekitar tahun 
800-an Masehi pada masa pemerintahan 
wangsa Syailendra. Borobudur adalah candi atau kuil Buddha terbesar di dunia,
[1][2] sekaligus salah satu monumen Buddha terbesar di dunia.
[3]
Monumen ini terdiri atas enam teras berbentuk bujur sangkar yang 
diatasnya terdapat tiga pelataran melingkar, pada dindingnya dihiasi 
dengan 2.672 panel 
relief dan aslinya terdapat 504 
arca Buddha.
[4] Borobudur memiliki koleksi relief Buddha terlengkap dan terbanyak di dunia.
[3]
 Stupa utama terbesar teletak di tengah sekaligus memahkotai bangunan 
ini, dikelilingi oleh tiga barisan melingkar 72 stupa berlubang yang di 
dalamnya terdapat arca buddha tengah duduk bersila dalam posisi teratai 
sempurna dengan 
mudra (sikap tangan) 
Dharmachakra mudra (memutar roda dharma).
Monumen ini merupakan model alam semesta dan dibangun sebagai tempat suci untuk memuliakan 
Buddha sekaligus berfungsi sebagai tempat 
ziarah untuk menuntun umat manusia beralih dari alam nafsu duniawi menuju pencerahan dan kebijaksanaan sesuai ajaran Buddha.
[5]
 Para peziarah masuk melalui sisi timur memulai ritual di dasar candi 
dengan berjalan melingkari bangunan suci ini searah jarum jam, sambil 
terus naik ke undakan berikutnya melalui tiga tingkatan ranah dalam 
kosmologi Buddha. Ketiga tingkatan itu adalah 
Kāmadhātu (ranah hawa nafsu), 
Rupadhatu (ranah berwujud), dan 
Arupadhatu
 (ranah tak berwujud). Dalam perjalanannya ini peziarah berjalan melalui
 serangkaian lorong dan tangga dengan menyaksikan tak kurang dari 1.460 
panel relief indah yang terukir pada dinding dan pagar langkan.
Menurut bukti-bukti sejarah, Borobudur ditinggalkan pada abad ke-14 
seiring melemahnya pengaruh kerajaan Hindu dan Buddha di Jawa serta 
mulai masuknya pengaruh Islam.
[6] Dunia mulai menyadari keberadaan bangunan ini sejak ditemukan 1814 oleh 
Sir Thomas Stamford Raffles,
 yang saat itu menjabat sebagai Gubernur Jenderal Inggris atas Jawa. 
Sejak saat itu Borobudur telah mengalami serangkaian upaya penyelamatan 
dan pemugaran. Proyek pemugaran terbesar digelar pada kurun 1975 hingga 
1982 atas upaya 
Pemerintah Republik Indonesia dan 
UNESCO, kemudian situs bersejarah ini masuk dalam daftar 
Situs Warisan Dunia.
[3]
Borobudur kini masih digunakan sebagai tempat ziarah keagamaan; tiap tahun 
umat Buddha yang datang dari seluruh Indonesia dan mancanegara berkumpul di Borobudur untuk memperingati Trisuci 
Waisak. Dalam dunia pariwisata, Borobudur adalah obyek wisata tunggal di Indonesia yang paling banyak dikunjungi wisatawan.
[7][8][9]
 
Nama Borobudur
Stupa Borobudur dengan jajaran perbukitan Menoreh. Selama berabad-abad bangunan suci ini sempat terlupakan.
 
 
Dalam 
Bahasa Indonesia, bangunan keagamaan purbakala disebut 
candi; istilah 
candi
 juga digunakan secara lebih luas untuk merujuk kepada semua bangunan 
purbakala yang berasal dari masa Hindu-Buddha di Nusantara, misalnya 
gerbang, 
gapura, dan petirtaan (kolam dan pancuran pemandian). Asal mula nama 
Borobudur tidak jelas,
[10] meskipun memang nama asli dari kebanyakan candi di Indonesia tidak diketahui.
[10] Nama Borobudur pertama kali ditulis dalam buku "
Sejarah Pulau Jawa" karya 
Sir Thomas Raffles.
[11] Raffles menulis mengenai monumen bernama 
borobudur, akan tetapi tidak ada dokumen yang lebih tua yang menyebutkan nama yang sama persis.
[10]
 Satu-satunya naskah Jawa kuno yang memberi petunjuk mengenai adanya 
bangunan suci Buddha yang mungkin merujuk kepada Borobudur adalah 
Nagarakretagama, yang ditulis oleh 
Mpu Prapanca pada 1365.
[12]
Nama 
Bore-Budur, yang kemudian ditulis 
BoroBudur, 
kemungkinan ditulis Raffles dalam tata bahasa Inggris untuk menyebut 
desa terdekat dengan candi itu yaitu desa Bore (Boro); kebanyakan 
candi
 memang seringkali dinamai berdasarkan desa tempat candi itu berdiri. 
Raffles juga menduga bahwa istilah 'Budur' mungkin berkaitan dengan 
istilah 
Buda dalam bahasa Jawa yang berarti "purba"– maka bermakna, "Boro purba".
[10] Akan tetapi arkeolog lain beranggapan bahwa nama 
Budur berasal dari istilah 
bhudhara yang berarti gunung.
[13]
Banyak 
teori yang berusaha menjelaskan nama candi ini. Salah satunya menyatakan bahwa nama ini kemungkinan berasal dari kata 
Sambharabhudhara, yaitu artinya "
gunung" (
bhudara) di mana di lereng-lerengnya terletak teras-teras. Selain itu terdapat beberapa 
etimologi rakyat lainnya. Misalkan kata 
borobudur berasal dari ucapan "para Buddha" yang karena pergeseran bunyi menjadi 
borobudur. Penjelasan lain ialah bahwa nama ini berasal dari dua kata "bara" dan "beduhur". Kata 
bara konon berasal dari kata 
vihara, sementara ada pula penjelasan lain di mana 
bara berasal dari 
bahasa Sanskerta yang artinya kompleks candi atau biara dan 
beduhur artinya ialah "tinggi", atau mengingatkan dalam 
bahasa Bali yang berarti "di atas". Jadi maksudnya ialah sebuah 
biara atau 
asrama yang berada di tanah tinggi.
Sejarawan 
J.G. de Casparis dalam disertasinya untuk mendapatkan gelar doktor pada 
1950 berpendapat bahwa Borobudur adalah tempat pemujaan. Berdasarkan 
prasasti Karangtengah dan 
Tri Tepusan, Casparis memperkirakan pendiri Borobudur adalah raja 
Mataram dari wangsa 
Syailendra bernama 
Samaratungga, yang melakukan pembangunan sekitar tahun 
824 M. Bangunan raksasa itu baru dapat diselesaikan pada masa putrinya, Ratu 
Pramudawardhani.
 Pembangunan Borobudur diperkirakan memakan waktu setengah abad. Dalam 
prasasti Karangtengah pula disebutkan mengenai penganugerahan tanah 
sima (tanah bebas pajak) oleh Çrī Kahulunan (Pramudawardhani) untuk memelihara 
Kamūlān yang disebut 
Bhūmisambhāra.
[14] Istilah 
Kamūlān sendiri berasal dari kata 
mula
 yang berarti tempat asal muasal, bangunan suci untuk memuliakan 
leluhur, kemungkinan leluhur dari wangsa Sailendra. Casparis 
memperkirakan bahwa 
Bhūmi Sambhāra Bhudhāra dalam bahasa Sanskerta yang berarti "Bukit himpunan kebajikan sepuluh tingkatan boddhisattwa", adalah nama asli Borobudur.
[15]
Lingkungan sekitar
Borobudur, Pawon, dan Mendut terbujur dalam satu garis lurus yang menunjukan kesatuan perlambang
 
 
Terletak sekitar 40 kilometres (25 mi) barat laut dari 
Kota Yogyakarta, Borobudur terletak di atas bukit pada dataran yang dikeliling dua pasang gunung kembar; 
Gunung Sundoro-
Sumbing di sebelah barat laut dan 
Merbabu-
Merapi di sebelah timur laut, di sebelah utaranya terdapat bukit 
Tidar, lebih dekat di sebelah selatan terdapat jajaran perbukitan 
Menoreh, serta candi ini terletak dekat pertemuan dua sungai yaitu 
Sungai Progo dan 
Sungai Elo di sebelah timur. Menurut legenda Jawa, daerah yang dikenal sebagai 
dataran Kedu
 adalah tempat yang dianggap suci dalam kepercayaan Jawa dan disanjung 
sebagai 'Taman pulau Jawa' karena keindahan alam dan kesuburan tanahnya.
[16]
Tiga candi serangkai
Selain Borobudur, terdapat beberapa candi Buddha dan Hindu di kawasan
 ini. Pada masa penemuan dan pemugaran di awal abad ke-20 ditemukan 
candi Buddha lainnya yaitu 
Candi Mendut dan 
Candi Pawon yang terbujur membentang dalam satu garis lurus.
[17]
 Awalnya diduga hanya suatu kebetulan, akan tetapi berdasarkan dongeng 
penduduk setempat, dulu terdapat jalan berlapis batu yang dipagari pagar
 langkan di kedua sisinya yang menghubungkan ketiga candi ini. Tidak 
ditemukan bukti fisik adanya jalan raya beralas batu dan berpagar dan 
mungkin ini hanya dongeng belaka, akan tetapi para pakar menduga memang 
ada kesatuan perlambang dari ketiga candi ini. Ketiga candi ini 
(Borobudur-Pawon-Mendut) memiliki kemiripan langgam arsitektur dan ragam
 hiasnya dan memang berasal dari periode yang sama yang memperkuat 
dugaan adanya keterkaitan ritual antar ketiga candi ini. Keterkaitan 
suci pasti ada, akan tetapi bagaimanakah proses ritual keagamaan ziarah 
dilakukan, belum diketahui secara pasti.
[12]
Selain candi Mendut dan Pawon, di sekitar Borobudur juga ditemukan 
beberapa peninggalan purbakala lainnya, diantaranya berbagai temuan 
tembikar seperti periuk dan kendi yang menunjukkan bahwa di sekitar 
Borobudur dulu terdapat beberapa wilayah hunian. Temuan-temuan purbakala
 di sekitar Borobudur kini disimpan di 
Museum Karmawibhangga Borobudur, yang terletak di sebelah utara candi bersebelahan dengan 
Museum Samudra Raksa. Tidak seberapa jauh di sebelah utara Candi Pawon ditemukan reruntuhan bekas candi Hindu yang disebut 
Candi Banon. Pada candi ini ditemukan beberapa arca dewa-dewa utama Hindu dalam keadaan cukup baik yaitu 
Shiwa, 
Wishnu, 
Brahma, serta 
Ganesha.
 Akan tetapi batu asli Candi Banon amat sedikit ditemukan sehingga tidak
 mungkin dilakukan rekonstruksi. Pada saat penemuannya arca-arca Banon 
diangkut ke Batavia (kini Jakarta) dan kini disimpan di 
Museum Nasional Indonesia.
Danau purba
Borobudur di tengah kehijauan alam 
dataran Kedu. Diduga dulu kawasan di sekeliling Borobudur adalah danau purba.
 
 
Tidak seperti candi lainnya yang dibangun di atas tanah datar, 
Borobudur dibangun di atas bukit dengan ketinggian 265 m (869 ft) dari 
permukaan laut dan 15 m (49 ft) di atas dasar danau purba yang telah 
mengering.
[18]
 Keberadaan danau purba ini menjadi bahan perdebatan yang hangat di 
kalangan arkeolog pada abad ke-20; dan menimbulkan dugaan bahwa 
Borobudur dibangun di tepi atau bahkan di tengah danau. Pada 1931, 
seorang seniman dan pakar arsitektur Hindu Buddha, 
W.O.J. Nieuwenkamp, mengajukan teori bahwa Dataran Kedu dulunya adalah sebuah danau, dan Borobudur dibangun melambangkan bunga 
teratai yang mengapung di atas permukaan danau.
[13] Bunga teratai baik dalam bentuk 
padma (teratai merah), 
utpala (teratai biru), ataupun 
kumuda (teratai putih) dapat ditemukan dalam semua ikonografi seni keagamaan Buddha. seringkali digenggam oleh 
Boddhisatwa sebagai 
laksana
 (lambang regalia), menjadi alas duduk singgasana Buddha atau sebagai 
lapik stupa. Bentuk arsitektur Borobudur sendiri menyerupai bunga 
teratai, dan postur Budha di Borobudur melambangkan Sutra Teratai yang 
kebanyakan ditemui dalam naskah keagamaan Buddha mahzab 
Mahayana
 (aliran Buddha yang kemudian menyebar ke Asia Timur). Tiga pelataran 
melingkar di puncak Borobudur juga diduga melambangkan kelopak bunga 
teratai.
[18]
 Akan tetapi teori Nieuwenkamp yang terdengar luar biasa dan fantastis 
ini banyak menuai bantahan dari para arkeolog. pada daratan di sekitar 
monumen ini telah ditemukan bukti-bukti arkeologi yang membuktikan bahwa
 kawasan sekitar Borobudur pada masa pembangunan candi ini adalah 
daratan kering, bukan dasar danau purba.
Sementara itu pakar geologi justru mendukung pandangan Nieuwenkamp 
dengan menunjukkan bukti adanya endapan sedimen lumpur di dekat situs 
ini.
[19] Sebuah penelitian 
stratigrafi,
 sedimen dan analisis sampel serbuk sari yang dilakukan tahun 2000 
mendukung keberadaan danau purba di lingkungan sekitar Borobudur,
[18]
 yang memperkuat gagasan Nieuwenkamp. Ketinggian permukaan danau purba 
ini naik-turun berubah-ubah dari waktu ke waktu, dan bukti menunjukkan 
bahwa dasar bukit dekat Borobudur pernah kembali terendam air dan 
menjadi tepian danau sekitar abad ke-13 dan ke-14. Aliran sungai dan 
aktivitas vulkanik diduga memiliki andil turut mengubah bentang alam dan
 topografi lingkungan sekitar Borobudur termasuk danau nya. Salah satu 
gunung berapi paling aktif di Indonesia adalah Gunung Merapi yang 
terletak cukup dekat dengan Borobudur dan telah aktif sejak masa 
Pleistosen.
[20]
Sejarah
Pembangunan
Lukisan karya G.B. Hooijer (dibuat kurun 1916—1919) merekonstruksi suasana di Borobudur pada masa jayanya
 
 
Tidak ditemukan bukti tertulis yang menjelaskan siapakah yang membangun Borobudur dan apa kegunaannya.
[21]
 Waktu pembangunannya diperkirakan berdasarkan perbandingan antara jenis
 aksara yang tertulis di kaki tertutup Karmawibhangga dengan jenis 
aksara yang lazim digunakan pada prasasti kerajaan abad ke-8 dan ke-9. 
Diperkirakan Borobudur dibangun sekitar tahun 800 masehi.
[21] Kurun waktu ini sesuai dengan kurun antara 760 dan 830 M, masa puncak kejayaan wangsa 
Syailendra di Jawa Tengah,
[22] yang kala itu dipengaruhi Kemaharajaan 
Sriwijaya.
 Pembangunan Borobudur diperkirakan menghabiskan waktu 75 - 100 tahun 
lebih dan benar-benar dirampungkan pada masa pemerintahan raja 
Samaratungga pada tahun 825.
[23][24]
Terdapat kesimpangsiuran fakta mengenai apakah raja yang berkuasa di 
Jawa kala itu beragama Hindu atau Buddha. Wangsa Sailendra diketahui 
sebagai penganut agama Buddha aliran Mahayana yang taat, akan tetapi 
melalui temuan 
prasasti Sojomerto menunjukkan bahwa mereka mungkin awalnya beragama Hindu Siwa.
[23] Pada kurun waktu itulah dibangun berbagai candi Hindu dan Buddha di 
Dataran Kedu. Berdasarkan 
Prasasti Canggal, pada tahun 732 M, raja beragama Siwa 
Sanjaya memerintahkan pembangunan bangunan suci 
Shiwalingga yang dibangun di perbukitan Gunung Wukir, letaknya hanya 10 km (6.2 mi) sebelah timur dari Borobudur.
[25] Candi Buddha Borobudur dibangun pada kurun waktu yang hampir bersamaan dengan candi-candi di 
Dataran Prambanan,
 meskipun demikian Borobudur diperkirakan sudah rampung sekitar 825 M, 
dua puluh lima tahun lebih awal sebelum dimulainya pembangunan candi 
Siwa 
Prambanan sekitar tahun 850 M.
Pembangunan candi-candi Buddha — termasuk Borobudur — saat itu dimungkinkan karena pewaris Sanjaya, 
Rakai Panangkaran memberikan izin kepada umat Buddha untuk membangun candi.
[26] Bahkan untuk menunjukkan penghormatannya, Panangkaran menganugerahkan desa 
Kalasan kepada 
sangha (komunitas Buddha), untuk pemeliharaan dan pembiayaan 
Candi Kalasan yang dibangun untuk memuliakan 
Bodhisattwadewi Tara, sebagaimana disebutkan dalam 
Prasasti Kalasan berangka tahun 778 Masehi.
[26]
 Petunjuk ini dipahami oleh para arkeolog, bahwa pada masyarakat Jawa 
kuno, agama tidak pernah menjadi masalah yang dapat menuai konflik, 
dengan dicontohkan raja penganut agama Hindu bisa saja menyokong dan 
mendanai pembangunan candi Buddha, demikian pula sebaliknya.
[27]
 Akan tetapi diduga terdapat persaingan antara dua wangsa kerajaan pada 
masa itu — wangsa Syailendra yang menganut Buddha dan wangsa Sanjaya 
yang memuja 
Siwa — yang kemudian wangsa Sanjaya memenangi pertempuran pada tahun 856 di perbukitan 
Ratu Boko.
[28] Ketidakjelasan juga timbul mengenai candi Lara Jonggrang di 
Prambanan,
 candi megah yang dipercaya dibangun oleh sang pemenang Rakai Pikatan 
sebagai jawaban wangsa Sanjaya untuk menyaingi kemegahan Borobudur milik
 wangsa Syailendra,
[28]
 akan tetapi banyak pihak percaya bahwa terdapat suasana toleransi dan 
kebersamaan yang penuh kedamaian antara kedua wangsa ini yaitu pihak 
Sailendra juga terlibat dalam pembangunan Candi Siwa di Prambanan.
[29]
Tahapan pembangunan Borobudur
Para ahli arkeologi menduga bahwa rancangan awal Borobudur adalah 
stupa tunggal yang sangat besar memahkotai puncaknya. Diduga massa stupa
 raksasa yang luar biasa besar dan berat ini membahayakan tubuh dan kaki
 candi sehingga arsitek perancang Borobudur memutuskan untuk membongkar 
stupa raksasa ini dan diganti menjadi tiga barisan stupa kecil dan satu 
stupa induk seperti sekarang. Berikut adalah perkiraan tahapan 
pembangunan Borobudur:
- Tahap pertama: Masa pembangunan Borobudur tidak diketahui pasti (diperkirakan kurun 750 dan 850 M).
 Borobudur dibangun di atas bukit alami, bagian atas bukit diratakan dan
 pelataran datar diperluas. Sesungguhnya Borobudur tidak seluruhnya 
terbuat dari batu andesit, bagian bukit tanah dipadatkan dan ditutup 
struktur batu sehingga menyerupai cangkang yang membungkus bukit tanah. 
Sisa bagian bukit ditutup struktur batu lapis demi lapis. Pada awalnya 
dibangun tata susun bertingkat. Sepertinya dirancang sebagai piramida 
berundak, tetapi kemudian diubah. Sebagai bukti ada tata susun yang 
dibongkar. Dibangun tiga undakan pertama yang menutup struktur asli 
piramida berundak.
- Tahap kedua: Penambahan dua undakan persegi, pagar langkan 
dan satu undak melingkar yang diatasnya langsung dibangun stupa tunggal 
yang sangat besar.
- Tahap ketiga: Terjadi perubahan rancang bangun, undak atas 
lingkaran dengan stupa tunggal induk besar dibongkar dan diganti tiga 
undak lingkaran. Stupa-stupa yang lebih kecil dibangun berbaris 
melingkar pada pelataran undak-undak ini dengan satu stupa induk yang 
besar di tengahnya. Karena alasan tertentu pondasi diperlebar, dibangun 
kaki tambahan yang membungkus kaki asli sekaligus menutup relief 
Karmawibhangga. Para arkeolog menduga bahwa Borobudur semula dirancang 
berupa stupa tunggal yang sangat besar memahkotai batur-batur teras 
bujur sangkar. Akan tetapi stupa besar ini terlalu berat sehingga 
mendorong struktur bangunan condong bergeser keluar. Patut diingat bahwa
 inti Borobudur hanyalah bukit tanah sehingga tekanan pada bagian atas 
akan disebarkan ke sisi luar bagian bawahnya sehingga Borobudur terancam
 longsor dan runtuh. Karena itulah diputuskan untuk membongkar stupa 
induk tunggal yang besar dan menggantikannya dengan teras-teras 
melingkar yang dihiasi deretan stupa kecil berterawang dan hanya satu 
stupa induk. Untuk menopang agar dinding candi tidak longsor maka 
ditambahkan struktur kaki tambahan yang membungkus kaki asli. Struktur 
ini adalah penguat dan berfungsi bagaikan ikat pinggang yang mengikat 
agar tubuh candi tidak ambrol dan runtuh keluar, sekaligus 
menyembunyikan relief Karmawibhangga pada bagian Kamadhatu
- Tahap keempat: Ada perubahan kecil seperti penyempurnaan 
relief, penambahan pagar langkan terluar, perubahan tangga dan 
pelengkung atas gawang pintu, serta pelebaran ujung kaki.
Borobudur diterlantarkan
Meletusnya 
Gunung Merapi diduga sebagai penyebab utama diterlantarkannya Borobudur
 
 
Borobudur tersembunyi dan terlantar selama berabad-abad terkubur di 
bawah lapisan tanah dan debu vulkanik yang kemudian ditumbuhi pohon dan 
semak belukar sehingga Borobudur kala itu benar-benar menyerupai bukit. 
Alasan sesungguhnya penyebab Borobudur ditinggalkan hingga kini masih 
belum diketahui. Tidak diketahui secara pasti sejak kapan bangunan suci 
ini tidak lagi menjadi pusat ziarah umat Buddha. Pada kurun 928 dan 
1006, Raja 
Mpu Sindok memindahkan ibu kota kerajaan 
Medang ke kawasan 
Jawa Timur
 setelah serangkaian letusan gunung berapi; tidak dapat dipastikan 
apakah faktor inilah yang menyebabkan Borobudur ditinggalkan, akan 
tetapi beberapa sumber menduga bahwa sangat mungkin Borobudur mulai 
ditinggalkan pada periode ini.
[6][18] Bangunan suci ini disebutkan secara samar-samar sekitar tahun 1365, oleh 
Mpu Prapanca dalam naskahnya 
Nagarakretagama yang ditulis pada masa kerajaan 
Majapahit.
 Ia menyebutkan adanya "Wihara di Budur". Selain itu Soekmono (1976) 
juga mengajukan pendapat populer bahwa candi ini mulai benar-benar 
ditinggalkan sejak penduduk sekitar beralih keyakinan kepada Islam pada 
abad ke-15.
[6]
Monumen ini tidak sepenuhnya dilupakan, melalui dongeng rakyat 
Borobudur beralih dari sebagai bukti kejayaan masa lampau menjadi kisah 
yang lebih bersifat tahayul yang dikaitkan dengan kesialan, kemalangan 
dan penderitaan. Dua Babad Jawa yang ditulis abad ke-18 menyebutkan 
nasib buruk yang dikaitkan dengan monumen ini. Menurut 
Babad Tanah Jawi (Sejarah Jawa), monumen ini merupakan faktor fatal bagi Mas Dana, pembangkang yang memberontak kepada Pakubuwono I, raja 
Kesultanan Mataram pada 1709.
[6] Disebutkan bahwa bukit "Redi Borobudur" dikepung dan para pemberontak dikalahkan dan dihukum mati oleh raja. Dalam 
Babad Mataram (Sejarah Kerajaan Mataram), monumen ini dikaitkan dengan kesialan Pangeran Monconagoro, putra mahkota 
Kesultanan Yogyakarta yang mengunjungi monumen ini pada 1757.
[30] Meskipun terdapat tabu yang melarang orang untuk mengunjungi monumen ini, "Sang Pangeran datang dan mengunjungi 
satria yang terpenjara di dalam kurungan
 (arca buddha yang terdapat di dalam stupa berterawang)". Setelah 
kembali ke keraton, sang Pangeran jatuh sakit dan meninggal dunia sehari
 kemudian. Dalam kepercayaan Jawa pada masa Mataram Islam, reruntuhan 
bangunan percandian dianggap sebagai tempat bersemayamnya roh halus dan 
dianggap 
wingit (angker) sehingga dikaitkan dengan kesialan atau 
kemalangan yang mungkin menimpa siapa saja yang mengunjungi dan 
mengganggu situs ini. Meskipun secara ilmiah diduga, mungkin setelah 
situs ini tidak terurus dan ditutupi semak belukar, tempat ini pernah 
menjadi sarang wabah penyakit seperti 
demam berdarah atau 
malaria.
Penemuan kembali
Foto pertama Borobudur oleh 
Isidore van Kinsbergen
 (1873) setelah monumen ini dibersihkan dari tanaman yang tumbuh pada 
tubuh candi. Bendera Belanda tampak pada stupa utama candi.
 
 
Teras tertinggi setelah restorasi Van Erp. Stupa utama memiliki menara dengan chattra (payung) susun tiga.
 
 
Setelah 
Perang Inggris-Belanda dalam memperebutkan pulau Jawa, Jawa dibawah pemerintahan Britania (Inggris) pada kurun 1811 hingga 1816. 
Thomas Stamford Raffles ditunjuk sebagai Gubernur Jenderal, dan ia memiliki minat istimewa terhadap sejarah Jawa. Ia mengumpulkan 
artefak-artefak
 antik kesenian Jawa kuno dan membuat catatan mengenai sejarah dan 
kebudayaan Jawa yang dikumpulkannya dari perjumpaannya dengan rakyat 
setempat dalam perjalanannya keliling Jawa. Pada kunjungan inspeksinya 
di 
Semarang tahun 1814, ia dikabari mengenai adanya sebuah monumen besar jauh di dalam hutan dekat desa Bumisegoro.
[30]
 Karena berhalangan dan tugasnya sebagai Gubernur Jenderal, ia tidak 
dapat pergi sendiri untuk mencari bangunan itu dan mengutus H.C. 
Cornelius, seorang insinyur Belanda, untuk menyelidiki keberadaan 
bangunan besar ini. Dalam dua bulan, Cornelius beserta 200 bawahannya 
menebang pepohonan dan semak belukar yang tumbuh di bukit Borobudur dan 
membersihkan lapisan tanah yang mengubur candi ini. Karena ancaman 
longsor, ia tidak dapat menggali dan membersihkan semua lorong. Ia 
melaporkan penemuannya kepada Raffles termasuk menyerahkan berbagai 
gambar sketsa candi Borobudur. Meskipun penemuan ini hanya menyebutkan 
beberapa kalimat, Raffles dianggap berjasa atas penemuan kembali monumen
 ini, serta menarik perhatian dunia atas keberadaan monumen yang pernah 
hilang ini.
[11]
Hartmann, seorang pejabat pemerintah Hindia Belanda di Keresidenan 
Kedu meneruskan kerja Cornelius dan pada 1835 akhirnya seluruh bagian 
bangunan telah tergali dan terlihat. Minatnya terhadap Borobudur lebih 
bersifat pribadi daripada tugas kerjanya. Hartmann tidak menulis laporan
 atas kegiatannya; secara khusus, beredar kabar bahwa ia telah menemukan
 arca buddha besar di stupa utama.
[31]
 Pada 1842, Hartmann menyelidiki stupa utama meskipun apa yang ia 
temukan tetap menjadi misteri karena bagian dalam stupa kosong.
Pemerintah 
Hindia Belanda
 menugaskan F.C. Wilsen, seorang insinyur pejabat Belanda bidang teknik,
 ia mempelajari monumen ini dan menggambar ratusan sketsa relief. J.F.G.
 Brumund juga ditunjuk untuk melakukan penelitian lebih terperinci atas 
monumen ini, yang dirampungkannya pada 1859. Pemerintah berencana 
menerbitkan artikel berdasarkan penelitian Brumund yang dilengkapi 
sketsa-sketsa karya Wilsen, tetapi Brumund menolak untuk bekerja sama. 
Pemerintah Hindia Belanda kemudian menugaskan ilmuwan lain, C. Leemans, 
yang mengkompilasi 
monografi
 berdasarkan sumber dari Brumund dan Wilsen. Pada 1873, monograf pertama
 dan penelitian lebih detil atas Borobudur diterbitkan, dilanjutkan 
edisi terjemahannya dalam bahasa Perancis setahun kemudian.
[31] Foto pertama monumen ini diambil pada 1873 oleh ahli engrafi Belanda, 
Isidore van Kinsbergen.
[32]
Penghargaan atas situs ini tumbuh perlahan. Untuk waktu yang cukup 
lama Borobudur telah menjadi sumber cenderamata dan pendapatan bagi 
pencuri, penjarah candi, dan kolektor "pemburu artefak". Kepala arca 
Buddha adalah bagian yang paling banyak dicuri. Karena mencuri seluruh 
arca buddha terlalu berat dan besar, arca sengaja dijungkirkan dan 
dijatuhkan oleh pencuri agar kepalanya terpenggal. Karena itulah kini di
 Borobudur banyak ditemukan arca Buddha tanpa kepala. Kepala Buddha 
Borobudur telah lama menjadi incaran kolektor benda antik dan 
museum-museum di seluruh dunia. Pada 1882, kepala inspektur artefak 
budaya menyarankan agar Borobudur dibongkar seluruhnya dan reliefnya 
dipindahkan ke museum akibat kondisi yang tidak stabil, ketidakpastian 
dan pencurian yang marak di monumen.
[32]
 Akibatnya, pemerintah menunjuk Groenveldt, seorang arkeolog, untuk 
menggelar penyelidikan menyeluruh atas situs dan memperhitungkan kondisi
 aktual kompleks ini; laporannya menyatakan bahwa kekhawatiran ini 
berlebihan dan menyarankan agar bangunan ini dibiarkan utuh dan tidak 
dibongkar untuk dipindahkan.
Bagian candi Borobudur dicuri sebagai benda cinderamata, arca dan 
ukirannya diburu kolektor benda antik. Tindakan penjarahan situs 
bersejarah ini bahkan salah satunya direstui Pemerintah Kolonial. Pada 
tahun 1896, 
Raja Thailand, 
Chulalongkorn ketika mengunjungi Jawa di 
Hindia Belanda
 (kini Indonesia) menyatakan minatnya untuk memiliki beberapa bagian 
dari Borobudur. Pemerintah Hindia Belanda mengizinkan dan menghadiahkan 
delapan gerobak penuh arca dan bagian bangunan Borobudur. Artefak yang 
diboyong ke Thailand antara lain; lima arca Buddha bersama dengan 30 
batu dengan relief, dua patung singa, beberapa batu berbentuk kala, 
tangga dan gerbang, dan arca penjaga 
dwarapala
 yang pernah berdiri di Bukit Dagi — beberapa ratus meter di barat laut 
Borobudur. Beberapa artefak ini, yaitu arca singa dan dwarapala, kini 
dipamerkan di 
Museum Nasional Bangkok.
[33]
Pemugaran
Borobudur kembali menarik perhatian pada 1885, ketika Yzerman, Ketua Masyarakat Arkeologi di Yogyakarta, menemukan 
kaki tersembunyi.
[34] Foto-foto yang menampilkan relief pada kaki tersembunyi dibuat pada kurun 1890–1891.
[35]
 Penemuan ini mendorong pemerintah Hindia Belanda untuk mengambil 
langkah menjaga kelestarian monumen ini. Pada 1900, pemerintah membentuk
 komisi yang terdiri atas tiga pejabat untuk meneliti monumen ini: 
Brandes, seorang sejarawan seni, Theodoor van Erp, seorang insinyur yang
 juga anggota tentara Belanda, dan Van de Kamer, insinyur ahli 
konstruksi bangunan dari Departemen Pekerjaan Umum.
Penanaman beton dan pipa 
PVC untuk memperbaiki sistem drainase Borobudur pada pemugaran tahun 1973
 
 
Pada 1902, komisi ini mengajukan proposal tiga langkah rencana 
pelestarian Borobudur kepada pemerintah. Pertama, bahaya yang mendesak 
harus segera diatasi dengan mengatur kembali sudut-sudut bangunan, 
memindahkan batu yang membahayakan batu lain di sebelahnya, memperkuat 
pagar langkan pertama, dan memugar beberapa relung, gerbang, stupa dan 
stupa utama. Kedua, memagari halaman candi, memelihara dan memperbaiki 
sistem drainase dengan memperbaiki lantai dan pancuran. Ketiga, semua 
batuan lepas dan longgar harus dipindahkan, monumen ini dibersihkan 
hingga pagar langkan pertama, batu yang rusak dipindahkan dan stupa 
utama dipugar. Total biaya yang diperlukan pada saat itu ditaksir 
sekitar 48.800 
Gulden.
Pemugaran dilakukan pada kurun 1907 dan 1911, menggunakan prinsip 
anastilosis dan dipimpin Theodor van Erp.
[36]
 Tujuh bulan pertama dihabiskan untuk menggali tanah di sekitar monumen 
untuk menemukan kepala buddha yang hilang dan panel batu. Van Erp 
membongkar dan membangun kembali tiga teras melingkar dan stupa di 
bagian puncak. Dalam prosesnya Van Erp menemukan banyak hal yang dapat 
diperbaiki; ia mengajukan proposal lain yang disetujui dengan anggaran 
tambahan sebesar 34.600 gulden. Van Erp melakukan rekonstruksi lebih 
lanjut, ia bahkan dengan teliti merekonstruksi 
chattra (payung 
batu susun tiga) yang memahkotai puncak Borobudur. Pada pandangan 
pertama, Borobudur telah pulih seperti pada masa kejayaannya. Akan 
tetapi rekonstruksi 
chattra hanya menggunakan sedikit batu asli 
dan hanya rekaan kira-kira. Karena dianggap tidak dapat 
dipertanggungjawabkan keasliannya, Van Erp membongkar sendiri bagian 
chattra. Kini mastaka atau kemuncak Borobudur 
chattra susun tiga tersimpan di Museum Karmawibhangga Borobudur.
Akibat anggaran yang terbatas, pemugaran ini hanya memusatkan 
perhatian pada membersihkan patung dan batu, Van Erp tidak memecahkan 
masalah drainase dan tata air. Dalam 15 tahun, dinding galeri miring dan
 relief menunjukkan retakan dan kerusakan.
[36]
 Van Erp menggunakan beton yang menyebabkan terbentuknya kristal garam 
alkali dan kalsium hidroksida yang menyebar ke seluruh bagian bangunan 
dan merusak batu candi. Hal ini menyebabkan masalah sehingga renovasi 
lebih lanjut diperlukan.
Pemugaran kecil-kecilan dilakukan sejak itu, tetapi tidak cukup untuk memberikan perlindungan yang utuh. Pada akhir 1960-an, 
Pemerintah Indonesia
 telah mengajukan permintaan kepada masyarakat internasional untuk 
pemugaran besar-besaran demi melindungi monumen ini. Pada 1973, rencana 
induk untuk memulihkan Borobudur dibuat.
[37] Pemerintah Indonesia dan 
UNESCO mengambil langkah untuk perbaikan menyeluruh monumen ini dalam suatu proyek besar antara tahun 1975 dan 1982.
[36]
 Pondasi diperkokoh dan segenap 1.460 panel relief dibersihkan. 
Pemugaran ini dilakukan dengan membongkar seluruh lima teras bujur 
sangkar dan memperbaiki sistem drainase dengan menanamkan saluran air ke
 dalam monumen. Lapisan saringan dan kedap air ditambahkan. Proyek 
kolosal ini melibatkan 600 orang untuk memulihkan monumen dan 
menghabiskan biaya total sebesar 6.901.243 dollar AS.
[38] Setelah renovasi, UNESCO memasukkan Borobudur ke dalam daftar 
Situs Warisan Dunia pada tahun 1991.
[3]
 Borobudur masuk dalam kriteria Budaya (i) "mewakili mahakarya 
kretivitas manusia yang jenius", (ii) "menampilkan pertukaran penting 
dalam nilai-nilai manusiawi dalam rentang waktu tertentu di dalam suatu 
wilayah budaya di dunia, dalam pembangunan arsitektur dan teknologi, 
seni yang monumental, perencanaan tata kota dan rancangan lansekap", dan
 (vi) "secara langsung dan jelas dihubungkan dengan suatu peristiwa atau
 tradisi yang hidup, dengan gagasan atau dengan kepercayaan, dengan 
karya seni artistik dan karya sastra yang memiliki makna universal yang 
luar biasa".
[3]
Peristiwa kontemporer
Biksu peziarah tengah bermeditasi di pelataran puncak
 
 
Setelah pemugaran besar-besaran pada 1973 yang didukung oleh 
UNESCO,
[37]
 Borobudur kembali menjadi pusat keagamaan dan ziarah agama Buddha. 
Sekali setahun pada saat bulan purnama sekitar bulan Mei atau Juni, umat
 Buddha di Indonesia memperingati hari suci 
Waisak, hari yang memperingati kelahiran, wafat, dan terutama peristiwa pencerahan 
Siddhartha Gautama yang mencapai tingkat kebijaksanaan tertinggi menjadi Buddha Shakyamuni. Waisak adalah hari libur nasional di Indonesia
[39]
 dan upacara peringatan dipusatkan di tiga candi Buddha utama dengan 
ritual berjalan dari Candi Mendut menuju Candi Pawon dan prosesi 
berakhir di Candi Borobudur.
[40]
Pada 
21 Januari 1985, sembilan stupa 
rusak parah akibat sembilan bom.
[41]
 Pada 1991 seorang penceramah muslim beraliran ekstrem yang tunanetra, 
Husein Ali Al Habsyie, dihukum penjara seumur hidup karena berperan 
sebagai otak serangkaian serangan bom pada pertengahan dekade 1980-an, 
termasuk serangan atas Candi Borobudur.
[42]
 Dua anggota kelompok ekstrem sayap kanan djatuhi hukuman 20 tahun 
penjara pada tahun 1986 dan seorang lainnya menerima hukuman 13 tahun 
penjara.
Sendratari "Mahakarya Borobudur" digelar di Borobudur
 
 
Monumen ini adalah obyek wisata tunggal yang paling banyak dikunjungi
 di Indonesia. Pada 1974 sebanyak 260.000 wisatawan yang 36.000 
diantaranya adalah wisatawan mancanegara telah mengunjungi monumen ini.
[8]
 Angka ini meningkat hingga mencapai 2,5 juta pengunjung setiap tahunnya
 (80% adalah wisatawan domestik) pada pertengahan 1990-an, sebelum 
Krisis finansial Asia 1997.
[9] Akan tetapi pembangunan pariwisata dikritik tidak melibatkan masyarakat setempat sehingga beberapa konflik lokal kerap terjadi.
[8]
 Pada 2003, penduduk dan wirausaha skala kecil di sekitar Borobudur 
menggelar pertemuan dan protes dengan pembacaan puisi, menolak rencana 
pemerintah provinsi yang berencana membangun kompleks mal berlantai tiga
 yang disebut 'Java World'.
[43]
 Upaya masyarakat setempat untuk mendapatkan penghidupan dari sektor 
pariwisata Borobudur telah meningkatkan jumlah usaha kecil di sekitar 
Borobudur. Akan tetapi usaha mereka untuk mencari nafkah seringkali 
malah mengganggu kenyamanan pengunjung. Misalnya pedagang cenderamata 
asongan yang mengganggu dengan bersikeras menjual dagangannya; meluasnya
 lapak-lapak pasar cenderamata sehingga saat hendak keluar kompleks 
candi, pengunjung malah digiring berjalan jauh memutar memasuki labirin 
pasar cenderamata. Jika tidak tertata maka semua ini membuat kompleks 
candi Borobudur semakin semrawut.
Pada 27 Mei 2006, gempa berkekuatan 6,2 skala mengguncang pesisir 
selatan Jawa Tengah. Bencana alam ini menghancurkan kawasan dengan 
korban terbanyak di 
Yogyakarta, akan tetapi Borobudur tetap utuh.
[44]
Pada 28 Agustus 2006 simposium bertajuk Trail of Civilizations (jejak
 peradaban) digelar di Borobudur atas prakarsa Gubernur Jawa Tengah dan 
Kementerian Pariwisata dan Kebudayaan, juga hadir perwakilan UNESCO dan 
negara-negara mayoritas Buddha di Asia Tenggara, seperti Thailand, 
Myanmar, Laos, Vietnam, dan Kamboja. Puncak acara ini adalah pagelaran 
sendratari kolosal "Mahakarya Borobudur" di depan Candi Borobudur. 
Tarian ini diciptakan dengan berdasarkan gaya tari tradisional Jawa, 
musik gamelan, dan busananya, menceritakan tentang sejarah pembangunan 
Borobudur. Setelah simposium ini, sendratari Mahakarya Borobudur kembali
 dipergelarkan beberapa kali, khususnya menjelang peringatan Waisak yang
 biasanya turut dihadiri Presiden Republik Indonesia.
Batu peringatan pemugaran candi Borobudur dengan bantuan UNESCO
 
 
UNESCO mengidentifikasi tiga permasalahan penting dalam upaya 
pelestarian Borobudur: (i) vandalisme atau pengrusakan oleh pengunjung; 
(ii) erosi tanah di bagian tenggara situs; (iii) analisis dan 
pengembalian bagian-bagian yang hilang.
[45]
 Tanah yang gembur, beberapa kali gempa bumi, dan hujan lebat dapat 
menggoyahkan struktur bangunan ini. Gempa bumi adalah faktor yang paling
 parah, karena tidak saja batuan dapat jatuh dan pelengkung ambruk, 
tanah sendiri bergerak bergelombang yang dapat merusak struktur 
bangunan.
[45]
 Meningkatnya popularitas stupa menarik banyak pengunjung yang 
kebanyakan adalah warga Indonesia. Meskipun terdapat banyak papan 
peringatan untuk tidak menyentuh apapun, pengumandangan peringatan 
melalui pengeras suara dan adanya penjaga, vandalisme berupa pengrusakan
 dan pencorat-coretan relief dan arca sering terjadi, hal ini jelas 
merusak situs ini. Pada 2009, tidak ada sistem untuk membatasi jumlah 
wisatawan yang boleh berkunjung per hari, atau menerapkan tiap kunjungan
 harus didampingi pemandu agar pengunjung selalu dalam pengawasan.
[45]
Rehabilitasi
Borobudur sangat terdampak letusan 
Gunung Merapi
 pada Oktober dan November 2010. Debu vulkanik dari Merapi menutupi 
kompleks candi yang berjarak 28 kilometres (17 mi) arah barat-baratdaya 
dari kawah Merapi. Lapisan debu vulkanik mencapai ketebalan 25 
centimetres (10 in)
[46]
 menutupi bangunan candi kala letusan 3–5 November 2010, debu juga 
mematikan tanaman di sekitar, dan para ahli mengkhawatirkan debu 
vulkanik yang secara kimia bersifat asam dapat merusak batuan bangunan 
bersejarah ini. Kompleks candi ditutup 5 sampai 9 November 2010 untuk 
membersihkan luruhan debu.
[47][48]
Mencermati upaya rehabilitasi Borobudur setelah letusan Merapi 2010, 
UNESCO
 telah menyumbangkan dana sebesar 3 juta dollar AS untuk mendanai upaya 
rehabilitasi. Membersihkan candi dari endapan debu vulkanik akan 
menghabiskan waktu sedikitnya 6 bulan, disusul penghijauan kembali dan 
penanaman pohon di lingkungan sekitar untuk menstabilkan suhu, dan 
terakhir menghidupkan kembali kehidupan sosial dan ekonomi masyarakat 
setempat.
[49]
 Lebih dari 55.000 blok batu candi harus dibongkar untuk memperbaiki 
sistem tata air dan drainase yang tersumbat adonan debu vulkanik 
bercampur air hujan. Restorasi berakhir November 2011, lebih awal dari 
perkiraan semula.
[50]
Arsitektur
Borobudur dilihat dari pelataran sudut barat laut
 
 
Denah Borobudur membentuk 
Mandala, lambang alam semesta dalam kosmologi Buddha.
 
 
Lorong koridor dengan galeri dinding berukir relief
 
 
Borobudur merupakan mahakarya 
seni rupa Buddha
 Indonesia, sebagai contoh puncak pencapaian keselarasan teknik 
arsitektur dan estetika seni rupa Buddha di Jawa. Bangunan ini diilhami 
gagasan dharma dari India, antara lain 
stupa, dan 
mandala, tetapi dipercaya juga merupakan kelanjutan unsur lokal; struktur megalitik 
punden berundak
 atau piramida bertingkat yang ditemukan dari periode prasejarah 
Indonesia. Sebagai perpaduan antara pemujaan leluhur asli Indonesia dan 
perjuangan mencapai Nirwana dalam ajaran Buddha.
[3]
Konsep rancang bangun
Pada hakikatnya Borobudur adalah sebuah 
stupa yang bila dilihat dari atas membentuk pola 
Mandala besar. Mandala adalah pola rumit yang tersusun atas bujursangkar dan lingkaran konsentris yang melambangkan 
kosmos
 atau alam semesta yang lazim ditemukan dalam Buddha aliran 
Wajrayana-Mahayana. Sepuluh pelataran yang dimiliki Borobudur 
menggambarkan secara jelas filsafat mazhab 
Mahayana yang secara bersamaan menggambarkan 
kosmologi yaitu konsep alam semesta, sekaligus tingkatan alam pikiran dalam ajaran Buddha.
[51] Bagaikan sebuah kitab, Borobudur menggambarkan sepuluh tingkatan 
Bodhisattva yang harus dilalui untuk mencapai 
kesempurnaan
 menjadi Buddha. Dasar denah bujur sangkar berukuran 123 metres (404 ft)
 pada tiap sisinya. Bangunan ini memiliki sembilan teras, enam teras 
terbawah berbentuk bujur sangkar dan tiga teras teratas berbentuk 
lingkaran.
Pada tahun 1885, secara tidak disengaja ditemukan struktur tersembunyi di kaki Borobudur.
[34] Kaki tersembunyi ini terdapat relief yang 160 diantaranya adalah berkisah tentang 
Karmawibhangga. Pada relief panel ini terdapat ukiran aksara yang merupakan petunjuk bagi pengukir untuk membuat adegan dalam gambar relief.
[52]
 Kaki asli ini tertutup oleh penambahan struktur batu yang membentuk 
pelataran yang cukup luas, fungsi sesungguhnya masih menjadi misteri. 
Awalnya diduga bahwa penambahan kaki ini untuk mencegah kelongsoran 
monumen.
[52] Teori lain mengajukan bahwa penambahan kaki ini disebabkan kesalahan perancangan kaki asli, dan tidak sesuai dengan 
Wastu Sastra, kitab India mengenai arsitektur dan tata kota.
[34]
 Apapun alasan penambahan kaki ini, penambahan dan pembuatan kaki 
tambahan ini dilakukan dengan teliti dengan mempertimbangkan alasan 
keagamaan, estetik, dan teknis.
Ketiga tingkatan ranah spiritual dalam kosmologi Buddha adalah:
Kamadhatu Bagian kaki Borobudur melambangkan 
Kamadhatu, yaitu dunia yang masih dikuasai oleh 
kama
 atau "nafsu rendah". Bagian ini sebagian besar tertutup oleh tumpukan 
batu yang diduga dibuat untuk memperkuat konstruksi candi. Pada bagian 
kaki asli yang tertutup struktur tambahan ini terdapat 160 panel cerita 
Karmawibhangga
 yang kini tersembunyi. Sebagian kecil struktur tambahan di sudut 
tenggara disisihkan sehingga orang masih dapat melihat beberapa relief 
pada bagian ini. Struktur batu andesit kaki tambahan yang menutupi kaki 
asli ini memiliki volume 13.000 meter kubik.
[5]
Rupadhatu Empat undak teras yang membentuk lorong keliling yang pada dindingnya dihiasi galeri relief oleh para ahli dinamakan 
Rupadhatu.
 Lantainya berbentuk persegi. Rupadhatu terdiri dari empat lorong dengan
 1.300 gambar relief. Panjang relief seluruhnya 2,5 km dengan 1.212 
panel berukir dekoratif. Rupadhatu adalah dunia yang sudah dapat 
membebaskan diri dari 
nafsu, tetapi masih terikat oleh rupa dan bentuk. Tingkatan ini melambangkan 
alam antara yakni, antara 
alam bawah dan 
alam atas.
 Pada bagian Rupadhatu ini patung-patung Buddha terdapat pada ceruk atau
 relung dinding di atas pagar langkan atau selasar. Aslinya terdapat 432
 arca Buddha di dalam relung-relung terbuka di sepanjang sisi luar di 
pagar langkan.
[5]
 Pada pagar langkan terdapat sedikit perbedaan rancangan yang 
melambangkan peralihan dari ranah Kamadhatu menuju ranah Rupadhatu; 
pagar langkan paling rendah dimahkotai ratna, sedangkan empat tingkat 
pagar langkan diatasnya dimahkotai 
stupika (stupa kecil). Bagian teras-teras bujursangkar ini kaya akan hiasan dan ukiran relief.
Arupadhatu Berbeda dengan lorong-lorong Rupadhatu yang kaya 
akan relief, mulai lantai kelima hingga ketujuh dindingnya tidak 
berelief. Tingkatan ini dinamakan 
Arupadhatu (yang berarti tidak berupa atau tidak berwujud). Denah lantai berbentuk lingkaran. Tingkatan ini melambangkan 
alam atas, di mana manusia sudah bebas dari segala keinginan dan ikatan bentuk dan rupa, namun belum mencapai 
nirwana.
 Pada pelataran lingkaran terdapat 72 dua stupa kecil berterawang yang 
tersusun dalam tiga barisan yang mengelilingi satu stupa besar sebagai 
stupa induk. Stupa kecil berbentuk lonceng ini disusun dalam 3 teras 
lingkaran yang masing-masing berjumlah 32, 24, dan 16 (total 72 stupa). 
Dua teras terbawah stupanya lebih besar dengan lubang berbentuk belah 
ketupat, satu teras teratas stupanya sedikit lebih kecil dan lubangnya 
berbentuk kotak bujur sangkar. Patung-patung Buddha ditempatkan di dalam
 stupa yang ditutup berlubang-lubang seperti dalam kurungan. Dari luar 
patung-patung itu masih tampak samar-samar. Rancang bangun ini dengan 
cerdas menjelaskan konsep peralihan menuju keadaan tanpa wujud, yakni 
arca Buddha itu ada tetapi tak terlihat.
Tingkatan tertinggi yang menggambarkan ketiadaan wujud yang sempurna 
dilambangkan berupa stupa yang terbesar dan tertinggi. Stupa digambarkan
 polos tanpa lubang-lubang. Di dalam stupa terbesar ini pernah ditemukan
 patung Buddha yang tidak sempurna atau disebut juga Buddha yang tidak 
rampung, yang disalahsangkakan sebagai patung 'Adibuddha', padahal 
melalui penelitian lebih lanjut tidak pernah ada patung di dalam stupa 
utama, patung yang tidak selesai itu merupakan kesalahan pemahatnya pada
 zaman dahulu. Menurut kepercayaan patung yang salah dalam proses 
pembuatannya memang tidak boleh dirusak. Penggalian arkeologi yang 
dilakukan di halaman candi ini menemukan banyak patung seperti ini. 
Stupa utama yang dibiarkan kosong diduga bermakna kebijaksanaan 
tertinggi, yaitu kasunyatan, kesunyian dan ketiadaan sempurna dimana 
jiwa manusia sudah tidak terikat hasrat, keinginan, dan bentuk serta 
terbebas dari lingkaran samsara.
Struktur bangunan
Arca singa penjaga gerbang
 
 
Ukiran raksasa sebagai kepala pancuran drainase
 
 
Penampang candi Borobudur terdapat rasio perbandingan 4:6:9 antara bagian kaki, tubuh, dan kepala
 
 
Tangga Borobudur mendaki melalui serangkaian gapura berukir Kala-Makara
 
 
Sekitar 55.000 meter kubik batu 
andesit diangkut dari tambang batu dan tempat penatahan untuk membangun monumen ini.
[53]
 Batu ini dipotong dalam ukuran tertentu, diangkut menuju situs dan 
disatukan tanpa menggunakan semen. Struktur Borobudur tidak memakai 
semen sama sekali, melainkan sistem 
interlock (saling kunci) yaitu seperti balok-balok 
lego
 yang bisa menempel tanpa perekat. Batu-batu ini disatukan dengan 
tonjolan dan lubang yang tepat dan muat satu sama lain, serta bentuk 
"ekor merpati" yang mengunci dua blok batu. Relief dibuat di lokasi 
setelah struktur bangunan dan dinding rampung.
Monumen ini dilengkapi dengan sistem 
drainase
 yang cukup baik untuk wilayah dengan curah hujan yang tinggi. Untuk 
mencegah genangan dan kebanjiran, 100 pancuran dipasang disetiap sudut, 
masing-masing dengan rancangan yang unik berbentuk kepala raksasa 
kala atau 
makara.
Borobudur amat berbeda dengan rancangan candi lainnya, candi ini 
tidak dibangun di atas permukaan datar, tetapi di atas bukit alami. Akan
 tetapi teknik pembangunannya serupa dengan candi-candi lain di Jawa. 
Borobudur tidak memiliki ruang-ruang pemujaan seperti candi-candi lain. 
Yang ada ialah lorong-lorong panjang yang merupakan jalan sempit. 
Lorong-lorong dibatasi dinding mengelilingi candi tingkat demi tingkat. 
Secara umum rancang bangun Borobudur mirip dengan 
piramida
 berundak. Di lorong-lorong inilah umat Buddha diperkirakan melakukan 
upacara berjalan kaki mengelilingi candi ke arah kanan. Borobudur 
mungkin pada awalnya berfungsi lebih sebagai sebuah 
stupa, daripada kuil atau candi.
[53] Stupa
 memang dimaksudkan sebagai bangunan suci untuk memuliakan Buddha. 
Terkadang stupa dibangun sebagai lambang penghormatan dan pemuliaan 
kepada Buddha. Sementara kuil atau candi lebih berfungsi sebagai rumah 
ibadah. Rancangannya yang rumit dari monumen ini menunjukkan bahwa 
bangunan ini memang sebuah bangunan tempat peribadatan. Bentuk bangunan 
tanpa ruangan dan struktur teras bertingkat-tingkat ini diduga merupakan
 perkembangan dari bentuk 
punden berundak, yang merupakan bentuk arsitektur asli dari masa prasejarah Indonesia.
Menurut legenda setempat arsitek perancang Borobudur bernama 
Gunadharma, sedikit yang diketahui tentang arsitek misterius ini.
[54]
 Namanya lebih berdasarkan dongeng dan legenda Jawa dan bukan 
berdasarkan prasasti bersejarah. Legenda Gunadharma terkait dengan 
cerita rakyat mengenai perbukitan Menoreh yang bentuknya menyerupai 
tubuh orang berbaring. Dongeng lokal ini menceritakan bahwa tubuh 
Gunadharma yang berbaring berubah menjadi jajaran perbukitan Menoreh, 
tentu saja legenda ini hanya fiksi dan dongeng belaka.
Perancangan Borobudur menggunakan satuan ukur 
tala, yaitu 
panjang wajah manusia antara ujung garis rambut di dahi hingga ujung 
dagu, atau jarak jengkal antara ujung ibu jari dengan ujung jari 
kelingking ketika telapak tangan dikembangkan sepenuhnya.
[55]
 Tentu saja satuan ini bersifat relatif dan sedikit berbeda antar 
individu, akan tetapi satuan ini tetap pada monumen ini. Penelitian pada
 1977 mengungkapkan rasio perbandingan 4:6:9 yang ditemukan di monumen 
ini. Arsitek menggunakan formula ini untuk menentukan dimensi yang tepat
 dari suatu 
fraktal geometri perulangan swa-serupa dalam rancangan Borobudur.
[55][56]
 Rasio matematis ini juga ditemukan dalam rancang bangun Candi Mendut 
dan Pawon di dekatnya. Arkeolog yakin bahwa rasio 4:6:9 dan satuan 
tala memiliki fungsi dan makna penanggalan, astronomi, dan kosmologi. Hal yang sama juga berlaku di candi 
Angkor Wat di Kamboja.
[54]
Struktur bangunan dapat dibagi atas tiga bagian: dasar (kaki), tubuh, dan puncak.
[54] Dasar berukuran 123×123 m (403.5 × 403.5 ft) dengan tinggi 4 metres (13 ft).
[53]
 Tubuh candi terdiri atas lima batur teras bujur sangkar yang makin 
mengecil di atasnya. Teras pertama mundur 7 metres (23 ft) dari ujung 
dasar teras. Tiap teras berikutnya mundur 2 metres (6.6 ft), menyisakan 
lorong sempit pada tiap tingkatan. Bagian atas terdiri atas tiga teras 
melingkar, tiap tingkatan menopang barisan stupa berterawang yang 
disusun secara konsentris. Terdapat stupa utama yang terbesar di tengah;
 dengan pucuk mencapai ketinggian 35 metres (115 ft) dari permukaan 
tanah. Tinggi asli Borobudur termasuk chattra (payung susun tiga) yang 
kini dilepas adalah 42 metres (138 ft) . Tangga terletak pada bagian 
tengah keempat sisi mata angin yang membawa pengunjung menuju bagian 
puncak monumen melalui serangkaian gerbang pelengkung yang dijaga 32 
arca singa. Gawang pintu gerbang dihiasi ukiran 
Kala pada puncak tengah lowong pintu dan ukiran 
makara
 yang menonjol di kedua sisinya. Motif Kala-Makara lazim ditemui dalam 
arsitektur pintu candi di Jawa. Pintu utama terletak di sisi timur, 
sekaligus titik awal untuk membaca kisah relief. Tangga ini lurus terus 
tersambung dengan tangga pada lereng bukit yang menghubungkan candi 
dengan dataran di sekitarnya.
Relief
Seni pahat Borobudur memiliki kehalusan gaya dan citarasa estetik yang anggun
 
 
Letak relief kisah-kisah naskah suci Buddha di dinding Borobudur
 
 
Pada dinding candi di setiap tingkatan — kecuali pada teras-teras 
Arupadhatu — dipahatkan panel-panel bas-relief yang dibuat dengan sangat
 teliti dan halus.
[57]
 Relief dan pola hias Borobudur bergaya naturalis dengan proporsi yang 
ideal dan selera estetik yang halus. Relief-relief ini sangat indah, 
bahkan dianggap sebagai yang paling elegan dan anggun dalam kesenian 
dunia Buddha.
[58]
 Relief Borobudur juga menerapkan disiplin senirupa India, seperti 
berbagai sikap tubuh yang memiliki makna atau nilai estetis tertentu. 
Relief-relief berwujud manusia mulia seperti pertapa, raja dan wanita 
bangsawan, 
bidadari
 atapun makhluk yang mencapai derajat kesucian laksana dewa, seperti 
tara dan boddhisatwa, seringkali digambarkan dengan posisi tubuh 
tribhanga. Posisi tubuh ini disebut "lekuk tiga" yaitu melekuk atau 
sedikit condong pada bagian leher, pinggul, dan pergelangan kaki dengan 
beban tubuh hanya bertumpu pada satu kaki, sementara kaki yang lainnya 
dilekuk beristirahat. Posisi tubuh yang luwes ini menyiratkan 
keanggunan, misalnya figur bidadari Surasundari yang berdiri dengan 
sikap tubuh tribhanga sambil menggenggam teratai bertangkai panjang.
[59]
Relief Borobudur menampilkan banyak gambar; seperti sosok manusia 
baik bangsawan, rakyat jelata, atau pertapa, aneka tumbuhan dan hewan, 
serta menampilkan bentuk bangunan 
vernakular tradisional Nusantara.
 Borobudur tak ubahnya bagaikan kitab yang merekam berbagai aspek 
kehidupan masyarakat Jawa kuno. Banyak arkeolog meneliti kehidupan masa 
lampau di Jawa kuno dan Nusantara abad ke-8 dan ke-9 dengan mencermati 
dan merujuk ukiran relief Borobudur. Bentuk rumah panggung, lumbung, 
istana dan candi, bentuk perhiasan, busana serta persenjataan, aneka 
tumbuhan dan margasatwa, serta alat transportasi, dicermati oleh para 
peneliti. Salah satunya adalah relief terkenal yang menggambarkan 
Kapal Borobudur.
[60]
 Kapal kayu bercadik khas Nusantara ini menunjukkan kebudayaan bahari 
purbakala. Replika bahtera yang dibuat berdasarkan relief Borobudur 
tersimpan di 
Museum Samudra Raksa yang terletak di sebelah utara Borobudur.
[61]
Relief-relief ini dibaca sesuai arah jarum jam atau disebut 
mapradaksina dalam bahasa 
Jawa Kuna yang berasal dari 
bahasa Sanskerta daksina yang artinya ialah 
timur. Relief-relief ini bermacam-macam isi ceritanya, antara lain relief-relief cerita 
jātaka.
 Pembacaan cerita-cerita relief ini senantiasa dimulai, dan berakhir 
pada pintu gerbang sisi timur di setiap tingkatnya, mulainya di sebelah 
kiri dan berakhir di sebelah kanan pintu gerbang itu. Maka secara nyata 
bahwa sebelah timur adalah tangga naik yang sesungguhnya (utama) dan 
menuju puncak candi, artinya bahwa candi menghadap ke timur meskipun 
sisi-sisi lainnya serupa benar.
Adapun susunan dan pembagian relief cerita pada dinding dan pagar langkan candi adalah sebagai berikut.
| Bagan Relief | 
| Kaki candi asli | ----- | Karmawibhangga | 160 | 
| Tingkat I | dinding | a. Lalitawistara | 120 | 
| b. jataka/awadana | 120 | 
| langkan | a. jataka/awadana | 372 | 
| b. jataka/awadana | 128 | 
| Tingkat II | dinding | Gandawyuha | 128 | 
| langkan | jataka/awadana | 100 | 
| Tingkat III | dinding | Gandawyuha | 88 | 
| langkan | Gandawyuha | 88 | 
| Tingkat IV | dinding | Gandawyuha | 84 | 
| langkan | Gandawyuha | 72 | 
| Jumlah | 1460 | 
Secara runtutan, maka cerita pada relief candi secara singkat bermakna sebagai berikut :
Karmawibhangga
Salah satu ukiran Karmawibhangga di dinding candi Borobudur (lantai 0 sudut tenggara)
 
 
Sesuai dengan makna simbolis pada kaki candi, relief yang menghiasi 
dinding batur yang terselubung tersebut menggambarkan hukum karma. 
Karmawibhangga adalah naskah yang menggambarkan ajaran mengenai karma, 
yakni sebab-akibat perbuatan baik dan jahat. Deretan relief tersebut 
bukan merupakan cerita seri (serial), tetapi pada setiap pigura 
menggambarkan suatu cerita yang mempunyai hubungan sebab akibat. Relief 
tersebut tidak saja memberi gambaran terhadap perbuatan tercela manusia 
disertai dengan hukuman yang akan diperolehnya, tetapi juga perbuatan 
baik manusia dan 
pahala. Secara keseluruhan merupakan penggambaran kehidupan manusia dalam lingkaran lahir - hidup - mati (
samsara)
 yang tidak pernah berakhir, dan oleh agama Buddha rantai tersebutlah 
yang akan diakhiri untuk menuju kesempurnaan. Kini hanya bagian tenggara
 yang terbuka dan dapat dilihat oleh pengujung. Foto lengkap relief 
Karmawibhangga dapat disaksikan di Museum Karmawibhangga di sisi utara 
candi Borobudur.
Lalitawistara
Merupakan penggambaran riwayat Sang Buddha dalam deretan 
relief-relief (tetapi bukan merupakan riwayat yang lengkap) yang dimulai
 dari turunnya Sang Buddha dari surga Tushita, dan berakhir dengan 
wejangan pertama di Taman Rusa dekat kota Banaras. Relief ini berderet 
dari tangga pada sisi sebelah selatan, setelah melampui deretan relief 
sebanyak 27 pigura yang dimulai dari tangga sisi timur. Ke-27 pigura 
tersebut menggambarkan kesibukan, baik di sorga maupun di dunia, sebagai
 persiapan untuk menyambut hadirnya penjelmaan terakhir Sang Bodhisattwa
 selaku calon Buddha. Relief tersebut menggambarkan lahirnya Sang Buddha
 di arcapada ini sebagai Pangeran Siddhartha, putra Raja Suddhodana dan 
Permaisuri Maya dari Negeri Kapilawastu. Relief tersebut berjumlah 120 
pigura, yang berakhir dengan wejangan pertama, yang secara simbolis 
dinyatakan sebagai Pemutaran Roda Dharma, ajaran Sang Buddha di sebut 
dharma yang juga berarti "hukum", sedangkan dharma dilambangkan sebagai roda.
Jataka dan Awadana
Jataka
 adalah berbagai cerita tentang Sang Buddha sebelum dilahirkan sebagai 
Pangeran Siddharta. Isinya merupakan pokok penonjolan 
perbuatan-perbuatan baik, seperti sikap rela berkorban dan suka menolong
 yang membedakan Sang Bodhisattwa dari makhluk lain manapun juga. 
Beberapa kisah Jataka menampilkan kisah 
fabel
 yakni kisah yang melibatkan tokoh satwa yang bersikap dan berpikir 
seperti manusia. Sesungguhnya, pengumpulan jasa atau perbuatan baik 
merupakan tahapan persiapan dalam usaha menuju ketingkat ke-Buddha-an.
Sedangkan Awadana, pada dasarnya hampir sama dengan Jataka akan 
tetapi pelakunya bukan Sang Bodhisattwa, melainkan orang lain dan 
ceritanya dihimpun dalam kitab 
Diwyawadana
 yang berarti perbuatan mulia kedewaan, dan kitab Awadanasataka atau 
seratus cerita Awadana. Pada relief candi Borobudur Jataka dan Awadana, 
diperlakukan sama, artinya keduanya terdapat dalam deretan yang sama 
tanpa dibedakan. Himpunan yang paling terkenal dari kehidupan Sang 
Bodhisattwa adalah Jatakamala atau untaian cerita Jataka, karya penyair 
Aryasura yang hidup dalam abad ke-4 Masehi.
Gandawyuha
Merupakan deretan relief menghiasi dinding lorong ke-2,adalah cerita 
Sudhana
 yang berkelana tanpa mengenal lelah dalam usahanya mencari Pengetahuan 
Tertinggi tentang Kebenaran Sejati oleh Sudhana. Penggambarannya dalam 
460 pigura didasarkan pada kitab suci Buddha Mahayana yang berjudul 
Gandawyuha, dan untuk bagian penutupnya berdasarkan cerita kitab lainnya
 yaitu Bhadracari.
Arca Buddha
Sebuah arca Buddha di dalam stupa berterawang
 
 
Selain wujud buddha dalam kosmologi buddhis yang terukir di dinding, 
di Borobudur terdapat banyak arca buddha duduk bersila dalam posisi 
teratai serta menampilkan 
mudra atau sikap tangan simbolis tertentu. Patung buddha dengan tinggi 1,5 meter ini dipahat dari bahan batu andesit.
[5]
Patung buddha dalam relung-relung di tingkat 
Rupadhatu, diatur
 berdasarkan barisan di sisi luar pagar langkan. Jumlahnya semakin 
berkurang pada sisi atasnya. Barisan pagar langkan pertama terdiri dari 
104 relung, baris kedua 104 relung, baris ketiga 88 relung, baris 
keempat 72 relung, dan baris kelima 64 relung. Jumlah total terdapat 432
 arca Buddha di tingkat 
Rupadhatu.
[4] Pada bagian 
Arupadhatu (tiga pelataran melingkar), arca Buddha diletakkan di dalam 
stupa-stupa
 berterawang (berlubang). Pada pelataran melingkar pertama terdapat 32 
stupa, pelataran kedua 24 stupa, dan pelataran ketiga terdapat 16 stupa,
 semuanya total 72 stupa.
[4]
 Dari jumlah asli sebanyak 504 arca Buddha, lebih dari 300 telah rusak 
(kebanyakan tanpa kepala) dan 43 hilang (sejak penemuan monumen ini, 
kepala buddha sering dicuri sebagai barang koleksi, kebanyakan oleh 
museum luar negeri).
[62]
Secara sepintas semua arca buddha ini terlihat serupa, akan tetapi terdapat perbedaan halus diantaranya, yaitu pada 
mudra atau posisi sikap tangan. Terdapat lima golongan 
mudra: Utara, Timur, Selatan, Barat, dan Tengah, kesemuanya berdasarkan lima arah utama kompas menurut ajaran 
Mahayana. Keempat pagar langkan memiliki empat 
mudra: Utara, Timur, Selatan, dan Barat, dimana masing-masing arca buddha yang menghadap arah tersebut menampilkan 
mudra yang khas. Arca Buddha pada pagar langkan kelima dan arca buddha di dalam 72 stupa berterawang di pelataran atas menampilkan 
mudra: Tengah atau Pusat. Masing-masing 
mudra melambangkan lima Dhyani Buddha; masing-masing dengan makna simbolisnya tersendiri.
[63]
Mengikuti urutan 
Pradakshina yaitu gerakan mengelilingi searah jarum jam dimulai dari sisi Timur, maka 
mudra arca-arca buddha di Borobudur adalah:
|  | Bhumisparsa mudra | Memanggil bumi sebagai saksi | Aksobhya | Timur | Relung di pagar langkan 4 baris pertama Rupadhatu sisi timur | 
|  | Wara mudra | Kedermawanan | Ratnasambhawa | Selatan | Relung di pagar langkan 4 baris pertama Rupadhatu sisi selatan | 
|  | Dhyana mudra | Semadi atau meditasi | Amitabha | Barat | Relung di pagar langkan 4 baris pertama Rupadhatu sisi barat | 
|  | Abhaya mudra | Ketidakgentaran | Amoghasiddhi | Utara | Relung di pagar langkan 4 baris pertama Rupadhatu sisi utara | 
|  | Witarka mudra | Akal budi | Wairocana | Tengah | Relung di pagar langkan baris kelima (teratas) Rupadhatu semua sisi | 
|  | Dharmachakra mudra | Pemutaran roda dharma | Wairocana | Tengah | Di dalam 72 stupa di 3 teras melingkar Arupadhatu | 
Warisan
Presiden 
Sukarno mengajak 
Nehru mengunjungi Borobudur pada bulan Juni 1950.
 
 
Pencapaian estetika dan keahlian teknik arsitektur yang ditampilkan 
Borobudur, serta ukurannya yang luar biasa, menjadi bukti keagungan masa
 lalu, dan telah membangkitkan kebanggaan bagi Bangsa Indonesia. 
Sebagaimana peran 
Angkor Wat bagi Bangsa Kamboja, Borobudur telah menjadi simbol yang kuat bagi Indonesia — sebagai saksi kejayaan masa lalu. 
Sukarno menegaskannya dengan mengajak tamu-tamu negara mengunjunginya. Sementara pemerintahan 
Suharto
 — menyadari makna simbolis dan potensi ekonominya — secara tekun 
menggelar proyek pemugaran untuk memulihkan monumen ini dengan bantuan 
UNESCO. Banyak museum di Indonesia memamerkan model skala kecil atau 
replika Borobudur. Monumen ini telah menjadi ikon, dikelompokkan bersama
 
wayang dan 
gamelan sebagai wujud budaya klasik Jawa yang menjadi inspirasi Indonesia.
[64]
Beberapa artefak arkeologi dari Borobudur, atau replikanya, dipamerkan di beberapa museum di Indonesia dan mancanegara. Selain 
Museum Karmawibhangga dalam kompleks Borobudur, beberapa museum menyimpan relik dari Borobudur, antara lain 
Museum Nasional Indonesia, 
Tropenmuseum di Amsterdam, 
British Museum di London, dan 
Museum Nasional Bangkok. Sementara 
Museum Louvre di Paris, 
Museum Negara Malaysia di Kuala Lumpur, dan 
Museum Agama Dunia di Taipei juga menampilkan replika Borobudur.
[65] Monumen ini telah menarik perhatian dunia kepada peradaban klasik Buddha Jawa Kuno.
Penemuan kembali dan pemugaran Borobudur telah disanjung-sanjung oleh 
Umat Buddha Indonesia sebagai pertanda kebangkitan ajaran Buddha di Indonesia. Pada 1934, 
Narada Thera, seorang biksu penceramah dari 
Sri Lanka,
 mengunjungi Indonesia untuk pertama kalinya sebagai bagian dari 
perjalanannya menyebarkan ajaran Dharma di Asia Tenggara. Kesempatan ini
 dimanfaatkan umat Buddha setempat untuk membangkitkan kembali seruan 
Dharma di Indonesia. Pada kesempatan itu digelar upacara penanaman 
Pohon Bodhi
 di sisi tenggara Borobudur, pada tanggal 10 Maret 1934 dengan diberkati
 oleh Narada Thera, sekaligus pengangkatan beberapa Upasaka menjadi 
Bhiksu.
[66]
 Setiap tahun, ribuan umat Buddha dari seluruh Indonesia dan 
negara-negara tetangga, berkumpul di Borobudur untuk memperingati hari 
Trisuci 
Waisak.
[67]
Lambang provinsi 
Jawa Tengah dan 
Kabupaten Magelang,
 menampilkan gambar Borobudur. Candi ini telah menjadi simbol Jawa 
Tengah, dan Indonesia secara luas. Borobudur telah menjadi nama beberapa
 institusi dan badan usaha, seperti 
Universitas Borobudur, 
Hotel Borobudur Jakarta, serta beberapa rumah makan Indonesia di luar negeri. Borobudur ditampilkan dalam uang 
rupiah,
 perangko, dibahas dalam beberapa buku, berita, publikasi, dokumenter, 
serta materi promosi pariwisata Indonesia. Candi ini menjadi atraksi 
wisata terkemuka di Indonesia, penting untuk menggerakan roda 
perekonomian lokal dan di kawasan sekitar Borobudur. Misalnya, sektor 
pariwisata 
Kota Yogyakarta tumbuh berkembang salah satunya berkat kedekatannya dengan candi Borobudur dan Prambanan.
Ikhtisar waktu proses pemugaran Candi Borobudur
- 1814 - Sir Thomas Stamford Raffles, Gubernur Jenderal Britania Raya di Jawa, mendengar adanya penemuan benda purbakala di desa Borobudur. Raffles memerintahkan H.C. Cornelius untuk menyelidiki lokasi penemuan, berupa bukit yang dipenuhi semak belukar.
- 1873 - monografi pertama tentang candi diterbitkan.
- 1900 - pemerintahan Hindia Belanda menetapkan sebuah panitia pemugaran dan perawatan candi Borobudur.
- 1963 - Pemerintah Indonesia mengeluarkan surat keputusan untuk memugar Borobudur, tapi berantakan setelah terjadi peristiwa G-30-S.
- 1968 - Pada konferensi-15 di Perancis, UNESCO setuju untuk memberi bantuan untuk menyelamatkan Borobudur.
- 1971 - Pemerintah Indonesia membentuk badan pemugaran Borobudur yang diketuai Prof.Ir.Roosseno.
- 1972 - International Consultative Committee
 dibentuk dengan melibatkan berbagai negara dan Roosseno sebagai 
ketuanya. Komite yang disponsori UNESCO menyediakan 5 juta dolar Amerika
 Serikat dari biaya pemugaran 7.750 juta dolar Amerika Serikat. Sisanya 
ditanggung Indonesia.
https://id.wikipedia.org/wiki/Borobudur